blog-indonesia.com

Sungai Utik, Pelindung Hutan Hujan Tropis di Kalimantan Barat

Tuesday 29 March 2011

Suku Dayak Iban Kampung Sungai Utik, Benteng Pelindung Hutan Hujan Tropis di Kalimantan Barat Kearifan Tradisional Suku Dayak Membentengi Hutan dari Perambahan dan Penebangan Liar.

Menjadi menarik, di tengah maraknya eksploitasi dan konversi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan ketika ada sebuah komunitas adat, Suku Dayak Iban Sungai Utik, yang masih memegang teguh aturan adatnya dan menolak tawaran investor untuk mengeksploitasi hutan adatnya. Hingga kini hutan mereka masih terawat baik. Penolakan untuk mengambil kayu secara besar-besaran ini didasarkan pada keyakinan bahwa adat telah mengatur bagaimana memanfaatkan kayu di hutan. Pengambilan kayu dalam jumlah masif bertentang dengan hukum adat di Sungai Utik. Ketaatan pada adat dan norma sosial komunitas Dayak Iban Sungai Utik yang menempati kawasan hutan seluas 9.452,5 ha di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini tidak terlepas dari peran Rumah Panjang sebagai identitas dan pengikat solidaritas warga.

Rumah Panjang besar sekali peranannya dalam mengontrol akses dan kepemilikan lahan baik antar warga, maupun antar desa. Saat ini, dibawah pimpinan kolektif dari Tuai Adat, Kepala Kampung dan Temenggung serta dibantu para hulubalangnya, semua masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dapat ditangani dan diselesaikan di tingkat pertemuan Rumah Panjang. “Sebenarnya masyarakat adat mulai dari nenek moyang tertib menjaga hutan, sudah ada aturannya dalam adat. Masyarakat mengharapkan hutan utuh dan normal tempat mengambil kebutuhan sehari-hari. Sayur dan ikan selalu ada dan tersedia. Masyarakat memiliki batas-batas daerah sesuai kesepakatan. Tutupan (hutan) menuju ke Taman Nasional juga diberi tanda ,” demikian penjelasan Pak Janggut tentang penggunaan aturan adat Suku Dayak Iban. Pak Janggut sehari-harinya adalah Tuai Adat Suku Dayak Iban di Sungai Utik.

Kondisi ideal ini tidak dimiliki kampung-kampung lain di sekitar Sungai Utik yang ‘tidak beruntung’ dalam membangun pranata Rumah Panjang mereka. Kebijakan “rumah sehat” dari pemerintah diberlakukan dan wilayah hutan sudah dikapling menjadi HPH sehingga membangun rumah panjang menjadi mustahil. Sekalipun beberapa mempunyai rumah panjang tetapi terlalu kecil untuk menampung semua warga. Akibatnya mereka menjadi komunitas Iban yang tercerai berai dalam satuan rumah keluarga inti. Dari studi yang dilakukan oleh Lembaga Ekolabel pada tahun 2005, tawaran investor kayu dari Malaysia, yang sangat memahami masyarakat Iban di Serawak, sulit ditolak kampung-kampung di luar komunitas Dayak Iban Sungai Utik. Selain keuntungan dari usaha menebang dan mengolah kayu, kepada mereka juga dijanjikan untuk dibuatkan rumah panjang apabila mau melepas hutan adat untuk diambil kayunya.

Dalam konteks persaingan dengan kampung lain, identitas kampung yang diperkuat oleh rumah adat menjadi penting. Karena itulah, orang Dayak Iban Sungai Utik membanggakan keaslian dan ketuaan rumah panjangnya; sementara kampung lain yang tidak memiliki rumah panjang, juga menyimpan harapan untuk suatu saat memilikinya dalam bentuk yang bisa dibanggakan. Usaha kayu menjadi harapan yang paling masuk akal, apalagi tambahan fasilitas berupa listrik dan jalan beraspal juga dijanjikan oleh investor. Ketika usaha kayu berjaya, kampung-kampung lain dapat memamerkan diri pada orang Sungai Utik bahwa mereka juga sudah mempunyai rumah panjang lengkap dengan listrik dan jalan aspal yang belum dimiliki Sungai Utik. Namun, kerusakan lingkungan seperti sungai yang berlumpur adalah harga yang harus ditebus oleh kampung lain itu. Dalam hal ini Pak Janggut pun berujar, ”Alam dan sungai adalah nafas manusia, kalau tidak dilindungi akan beresiko terhadap masyarakat. Air adalah darah, tanah adalah asal dan tempat kembali manusia.” Pak Janggut mengkhawatirkan soal perambahan hutan untuk perkebunan dan hutan tanaman yang kini marak. Hal ini disebabkan letak Kampung Suku Dayak Iban Sungai Utik yang berada di lintasan strategis dekat dengan perbatasan Serawak, Malaysia.

Kampung Sungai Utik terletak di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat, bersama-sama dengan 2 kampung lainnya, yaitu Kampung Mungguk dan Kampung Lauk Rugun. Kecamatan Embaloh Hulu berbatasan dengan Serawak di bagian Utara dan Barat, Kecamatan Putussibau di bagian timur, dan Kecamatan Batang Lupar di bagian selatan. Sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu berbatasan dengan Serawak (Malaysia) di bagian Utara, Provinsi Kalimantan Timur di bagian Timur, Kabupaten Sintang di bagian Selatan dan Barat. Selain itu kawasan hutan Sungai Utik kaya akan beragam jenis pepohonan dan satwaliar. Bermacam jenis meranti, kapur, ladan, gerunggang (bahan pembuat sirap atap), kempas, jelutung, dan beragam jenis rotan dan damar.

Suku Dayak memanfaatkannya untuk bahan bangunan, bahan pembuat sampan, tikar, dan kayu bakar. Jenis-jenis kayu di kawasan hutan Sungai Utik merupakan jenis komersial yang laku dijual. Kawasan hutan di Sungai Utik masih banyak dihuni oleh jenis-jenis rusa, kijang, babi hutan, kura-kura, labi-labi, macan dahan, beruang, dan ular, termasuk beragam jenis burung dan ikan. “Masalah yang paling berat adalah menjaga agar hutan tidak hilang akibat perubahan lahan untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit”, demikian tutur Pak Janggut ketika LEI menanyakan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas Sungai Utik berkaitan dengan keberlanjutannya. Karena itu upaya-upaya untuk menjaga keberlanjutan komunitas Dayak Iban Sungai Utik terus dilanjutkan dengan proses sertifikasi ekolabel LEI, dan lulus penilaian sertifikasi pengelolaan hutan lestari oleh PT. Mutuagung Lestari pada bulan Mei 2008.

“Masyarakat ingin pengakuan yang tertulis supaya didengar oleh orang luar, ada dokumen-dokumennya. Sertifikasi merupakan titik penting yang bermanfaat bagi masyarakat. Sertifikasi Sui Utik diharapkan bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Masyarakat harus bisa mengikuti arus perubahan dunia. Budaya bisa dipakai secara adil.” Bagi komunitas Dayak Iban Sungai Utik, sertifikasi digunakan untuk menyelamatkan hutan, alam dan jiwa. Ibarat mantri (dokter), sertifikasi dapat menjadi obat.

Setelah mendapatkan sertifikasi komunitas Dayak Iban Sungai Utik tidak lantas mengeksploitasi hutannya untuk menambah tingkat perekonomiannya. Mereka bersepakat menggunakan perencanaan pemanenan. “Ada kesepakatan untuk memperbolehkan menebang tapi ada perencanaan, berapa yang boleh diambil, kayu seperti apa yang boleh diambil. Kami juga mengumpulkan masyarakat, agar tidak bekerja mengambil kayu sebagai pencaharian utama, tetapi mengusahakan kebun karet, coklat, dan tebu,” jelas Pak Janggut.

Terpeliharanya kearifan tradisional berupa hukum adat yang menyertai keberadaan rumah panjang, ditambahi dengan sertifikasi ekolabel LEI yang mereka peroleh melalui proses pendampingan bertahun-tahun oleh para pendamping, memancangkan sebuah kepastian dari orang Sungai Utik : mereka tidak akan tergoda oleh investor yang menawar hutan mereka.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: Indra S. Dewi, Lembaga Ekolabel Indonesia, lei@indo.net.id, ph: +62-251-340744 dan 08128161339.

Tentang Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) LEI adalah organisasi berbasiskan konstituen yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia. Sistem Sertifikasi LEI ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia. Saat ini lebih dari 1 juta ha hutan di Indonesia telah mendapatkan sertifikat hutan lestari dari LEI.

0 comments:

Thank's 4 Visit Kawan

ShoutMix chat widget

gunjhie_land@yahoo.com
Powered by Blogger.

Popular Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...